Pengusaha Sawit Minta Tunda Kenaikan Pungutan Ekspor 10%

lushbeat.com – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk menunda kenaikan pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit (CPO). Kenaikan tarif tersebut mulai berlaku pada 16 Mei 2025 dan dianggap dapat berdampak buruk pada daya saing produk CPO Indonesia di pasar internasional.

“Baca Juga: Apple Kembangkan iPhone Lipat, Kapan Rilis ke Pasaran?”

Tarif Pungutan Ekspor Naik dari 7,5% Menjadi 10%

Pada 5 Mei 2025, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 30 Tahun 2025 yang mengatur kenaikan tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit. Dari 7,5% menjadi 10%. Kebijakan ini tertuang dalam Pasal 14 PMK. Yang menyatakan bahwa kenaikan tersebut berlaku tiga hari setelah diundangkan, yakni pada 16 Mei 2025. Kenaikan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan negara dan memperbaiki pengelolaan dana. Perkebunan kelapa sawit, tetapi banyak pengusaha sawit yang khawatir kebijakan ini akan memberi dampak negatif. Mereka merasa beban ekspor yang lebih tinggi akan menyebabkan harga CPO Indonesia kurang kompetitif di pasar internasional, terutama dibandingkan dengan negara pesaing seperti Malaysia.

Dampak Kenaikan Pungutan Ekspor terhadap Industri Sawit

Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, menyampaikan bahwa kenaikan pungutan ekspor tersebut akan menambah beban yang sudah ditanggung oleh para pelaku industri sawit Indonesia. Sebelumnya, ekspor CPO Indonesia sudah dikenakan tiga beban utama, yakni Domestic Market Obligation (DMO). Pungutan ekspor (PE), dan Bea Keluar (BK). Total biaya ini mencapai sekitar USD 221 per metrik ton. Kenaikan tarif PE menjadi 10% dapat meningkatkan total beban ekspor. Sehingga harga CPO Indonesia menjadi lebih mahal dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia.

Harga Minyak Sawit Indonesia Terancam Tidak Kompetitif

Eddy Martono juga mengingatkan bahwa kenaikan pungutan ekspor ini berpotensi membuat harga minyak sawit Indonesia kurang kompetitif. Sebagai dampaknya, harga tandan buah segar (TBS) petani bisa turun, sedangkan harga ekspor CPO Indonesia akan mengalami kenaikan. Dengan kondisi pasar global yang kurang baik, termasuk tarif tinggi di bawah kebijakan Trump dan ketegangan perdagangan India-Pakistan, sektor sawit Indonesia akan menghadapi tantangan besar dalam menjaga daya saing.

“Baca Juga: Diogo Dalot Janjikan Trofi Liga Europa untuk Fans MU”

GAPKI Mengusulkan Penundaan Hingga Situasi Membaik

GAPKI mengusulkan agar pemerintah menunda kenaikan pungutan ekspor hingga kondisi pasar global membaik. Eddy Martono menjelaskan bahwa saat ini harga ekspor CPO Indonesia tertekan oleh situasi global yang tidak stabil. Dengan adanya tarif tinggi dan ketegangan perdagangan antara negara-negara besar. GAPKI khawatir kebijakan ini akan memberikan dampak negatif pada industri sawit domestik dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Kenaikan pungutan ekspor minyak sawit ini. Yang resmi diberlakukan pada 16 Mei 2025, menjadi topik penting yang sedang dibahas oleh para pengusaha sawit Indonesia. GAPKI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan penundaan kebijakan ini untuk melindungi daya saing industri sawit Indonesia di pasar global.

Similar Posts