Modus Tak Etis Agen Pinjol Mengubah Status Pencairan Pinjaman

Lushbeat – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengungkap adanya praktik tak etis yang dilakukan oleh agen layanan pinjaman online (pinjol). Salah satu modus tak etis yang berhasil mereka temukan adalah manipulasi data untuk mempermudah pencairan pinjaman bagi anak muda yang seharusnya tidak memenuhi syarat. Modus ini melibatkan perubahan status peminjam, seperti mengubah data mahasiswa menjadi pekerja, demi mendapatkan persetujuan dari pihak pemberi pinjaman.

Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, menjelaskan bahwa agen-agen pinjol di lapangan sering kali mengubah status calon peminjam, seperti dari mahasiswa menjadi pekerja, agar aplikasi pinjaman mereka disetujui. Friderica mencatat kasus yang terjadi di Solo sebagai salah satu contoh modus ini.

Seharusnya, anak-anak muda ini tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan pinjaman. Namun agen meminta mereka mengubah status mereka menjadi pekerja hanya demi mendapatkan persetujuan dari kantor pusat. Ungkap Friderica di acara Literasi Keuangan Indonesia Terdepan (LIKE IT) 2024 di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Praktik ini, menurut Friderica, menjadi tanggung jawab penuh pelaku usaha jasa keuangan (PUJK). Termasuk apabila agen atau pihak ketiga yang bekerja sama dengan mereka melakukan hal-hal di luar prosedur. Ia menegaskan bahwa PUJK harus bertanggung jawab atas tindakan pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran layanan mereka.

“Baca juga: Director Bloodstained Mundur dari Proyek Sekuel karena Kondisi Kesehatan”

Dampak Skor Kredit dan Masa Depan Anak Muda

Manipulasi semacam ini dapat membawa dampak jangka panjang pada kehidupan finansial anak muda. Pinjaman yang dicairkan secara tidak etis akan langsung tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK, yang berfungsi untuk memantau riwayat kredit seseorang. Akibatnya, jika peminjam gagal memenuhi kewajiban mereka, skor kredit mereka berpotensi rusak, sehingga akan mempersulit mereka untuk mengakses pembiayaan di masa depan.

Friderica menyoroti pentingnya menjaga masa depan finansial generasi muda. “Anak-anak muda ini adalah pelanggan potensial bagi bank di masa depan.

Tidak Memaksakan Pinjaman

Friderica juga menegaskan kembali dengan mengimbau pelaku usaha jasa keuangan untuk tidak memaksakan pemberian pinjaman. Sebaliknya, pemberian kredit harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang, terutama bagi anak muda yang belum memiliki penghasilan tetap. Oleh karena itu, langkah ini diharapkan dapat mencegah anak muda terjerat utang yang tidak terkendali, serta mendorong praktik keuangan yang lebih bertanggung jawab.

“Kami mendorong agar pelaku usaha keuangan memberikan pinjaman secara bertanggung jawab. Jangan hanya fokus pada inklusi finansial. Tetapi juga pastikan pemberian pinjaman dilakukan dengan cara yang tepat dan tidak memaksakan anak muda untuk mengambil utang yang tidak mereka butuhkan,” tambahnya.

Fenomena Utang Pay Later di Kalangan Anak Muda

OJK juga mencatat bahwa layanan buy now pay later (BNPL) atau pay later semakin populer di kalangan anak muda, yang menyebabkan peningkatan jumlah utang. Friderica mengatakan bahwa fenomena pay later ini menjadi perhatian global, termasuk dalam forum International Network on Financial Education di bawah naungan OECD.

Budaya penggunaan pay later di kalangan generasi muda, menurut Friderica, bisa mendorong mereka ke dalam jebakan utang berlebih atau over-indebtedness. Anak muda sering kali menggunakan layanan ini untuk kebutuhan gaya hidup, seperti fesyen, perlengkapan rumah tangga, hingga gadget.

“Simak juga: Penolakan Aplikasi Temu di Indonesia: Perlindungan untuk UMKM”

Generasi Z: Pengguna Pay Later Terbesar

OJK memaparkan data yang menunjukkan bahwa generasi Zoomers (Gen Z) menjadi pengguna utama layanan pay later di Indonesia. Secara spesifik, sebagian besar pengguna pay later berusia antara 26-35 tahun (43,9%), sedangkan 26,5% pengguna berusia 18-25 tahun. Dengan demikian, data ini menunjukkan bahwa generasi muda khususnya adalah kelompok paling rentan terhadap penggunaan kredit berlebihan melalui layanan pay later.

Mayoritas pengguna pay later memanfaatkan layanan ini untuk keperluan gaya hidup. Dengan rincian 66,4% menggunakan layanan pay later untuk fesyen, 52,2% untuk perlengkapan rumah tangga, 41% untuk elektronik, dan 34,5% untuk pembelian laptop atau ponsel, jelas terlihat tren ini mencerminkan bagaimana generasi muda semakin terlibat dalam utang konsumtif. Pada akhirnya, hal ini dapat berdampak negatif pada kesehatan finansial mereka di masa mendatang.

Dengan meningkatnya popularitas pay later dan modus tak etis dalam pencairan pinjaman online, edukasi keuangan menjadi semakin penting. OJK terus berupaya mengedukasi masyarakat, khususnya generasi muda. Agar lebih bijak dalam mengelola keuangan mereka dan tidak terjerat utang yang tidak diperlukan.

Similar Posts