Kotak Kosong dalam Pilkada Indikasi Kemunduran Demokrasi

Lush Beat – Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno, mengemukakan kekhawatirannya terkait fenomena kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Menurutnya, fenomena ini akan muncul di banyak daerah di Indonesia. Adi menilai bahwa partai politik saat ini cenderung memborong dukungan banyak partai untuk memenangkan pilkada, yang menunjukkan kurangnya semangat bertarung di kalangan elit partai.

Kelelahan Politik dan Pilihan Pragmatis

Adi berpendapat bahwa kelelahan politik, akibat jarak pelaksanaan yang dekat antara Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pilkada Serentak, menyebabkan partai politik tampak lesu dan tidak antusias. Hal ini berakibat pada pilihan pragmatis dari para elit partai yang lebih memilih berkongsi dengan kandidat kuat untuk diusung, ketimbang melawan di arena pilkada yang melibatkan 545 daerah.

Dampak Negatif Fenomena Kotak Kosong

Fenomena ini dianggap menurunkan kualitas praktik demokrasi, di mana partai politik lebih memilih calon tunggal dan menghasilkan kotak kosong. Contoh konkret adalah Pilkada Kabupaten Sumenep yang berpotensi melahirkan pasangan tunggal, Achmad Fauzi Wongsojudo-KH. Imam Hasyim (Fauzi-Imam), serta Pilkada Kota Batam, di mana 11 dari 12 partai sudah mendukung pasangan Amsakar Achmad dan Li Claudia Chandra.

Baca Juga : Spekulasi Seputar Pembunuhan Ismail Haniyeh di Teheran: Rudal Presisi atau Bom yang Diselundupkan

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ujang Komarudin, berpendapat bahwa kemunculan fenomena kotak kosong disebabkan oleh kegagalan kaderisasi di partai politik serta kecenderungan partai untuk menang tanpa lawan. Ujang mengkhawatirkan bahwa hal ini menghambat kesempatan bagi calon pemimpin yang unggul dan berprestasi.

Dia juga mencurigai adanya praktik money politics dalam proses ini, di mana kandidat memborong dukungan partai untuk mendapatkan tiket pencalonan. Ujang menilai bahwa dalam kasus pilkada dengan calon tunggal, dana tidak dialokasikan untuk pemilih, melainkan untuk partai-partai.

Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, juga menyoroti fenomena ini dan menilai bahwa fenomena memborong dukungan partai telah lama terjadi. Feri mengkritik kotak kosong sebagai bentuk demokrasi yang tidak sesungguhnya, melainkan rekayasa yang menguntungkan elit politik dan calon kaya. Ia menekankan bahwa kotak kosong tidak memberikan ruang untuk pertarungan gagasan, yang merupakan elemen penting dalam proses demokrasi.

Feri menambahkan bahwa demokrasi yang sehat harus melibatkan pertarungan gagasan yang memungkinkan pemilih memilih dari berbagai alternatif. Kotak kosong, menurutnya, hanya menunjukkan adanya kekosongan dalam proses demokrasi, di mana gagasan dan inovasi tidak berkembang karena minimnya kompetisi.

Simak Juga : Impor LPG RI Makin Menggunung Tembus 6 Juta Ton

Similar Posts